KEBERADAAN RUU JPSK MEMANG DIBUTUHKAN
30-01-2009 /
KOMISI XI
Anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Andi Rahmat mengatakan keberadaan RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) memang sangat dibutuhkan, karena perangkat hukum yang kita miliki sekarang ini masih belum memadai.
Demikian disampaikannya dalam Dialog Interaktif Bersama Wakil Rakyat di RRI, Jum’at (30/1) yang juga didampingi Pengamat Ekonomi Perbankan Hendri Saparini.
Andi menegaskan, jika dilihat dari sisi kebutuhan, RUU JPSK ini memang perlu segera diselesaikan, mengingat jika terjadi apa-apa dalam sistem keuangan kita, perangkat hukum yang sudah ada sangat tidak mencukupi.
Dikatakannya, negara kita sudah mengalami pengalaman buruk saat dilanda krisis tahun 1997 hingga sekarang. Krisis tersebut masih menyisakan banyak sekali persoalan-persoalan.
Salah satu yang menyebabkan hal itu terjadi adalah karena perangkat hukum yang kita miliki pada saat itu memang tidak memadai, akibatnya banyak kebijakan yang tumpang tindih dalam proses pengambilan kebijakan dan implementasi kebijakan yang diambil oleh pemerintah pada masa itu dan pemerintahan berikutnya.
Pada prinsipnya, kata Andi, ada dua hal penting mengapa RUU JPSK itu diperlukan. Tidak saja hanya didorong karena situasi krisis yang kita alami, tapi juga karena sudah diamanatkan oleh UU Bank Indonesia bahwa sampai tahun 2008 UU tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan itu harus dibentuk. Hanya, tambah Andi, karena bersamaan dengan situasi krisis yang dihadapi sekarang ini, maka RUU ini menjadi isu yang menarik.
Secara substansial ada empat hal yang sangat penting dalam draft RUU tentang JPSK ini. Pertama, definisi dari krisis yang akan dihadapi, ke dua, fungsi dari otoritas yang melibatkan tiga unsur yaitu Menteri Keuangan sebagai pemegang otoritas fiskal, Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter dan Lembaga legislatif sebagai pemegang hak buget. Di luar ketiga hal itu dimungkinkan unsur di luar ini terlibat kalau memang dianggap perlu. “Jadi masalah otoritas ini juga harus clear diatur di dalam RUU tersebut,†kata Andi.
Point penting ke tiga, mengatur mekanisme mulai dari proses pengambilan keputusan hingga bentuk-bentuk akuntabilitasnya di masa datang. Sedang point ke empat, hubungan antara lembaga-lembaga negara yang pada prinsipnya mendepormasi relasi politik yang terlalu kaku.
Hal inilah yang coba diatasi agar seluruh fungsi-fungsi dari otoritas ini bisa dilaksanakan tanpa mengganggu aturan yang berlaku, tapi pada saat yang sama juga ada ruang gerak yang fleksibel bagi masing-masing otoritas untuk mengambil kesimpulan.
Namun, kata Andi, hal yang terpenting dari semua itu adalah, seberapa besar masyarakat sebagai orang yang akan memikul beban jangka panjang bisa menagih akuntabilitas dari proses ini secara keseluruhan.
Menanggapi tentang RUU JPSK yang diajukan Pemerintah, Hendri Saparini melihat RUU tersebut seolah-olah menjadi respon terhadap krisis finansial global. Namun demikian, kata Hendri, perlu kehati-hatian bila dilihat dari isi Perpu yang ditolak DPR Desember lalu, karena ada beberapa kelemahan dari RUU yang diusulkan pemerintah tersebut.
Dalam draft sebelumnya seolah-olah cakupannya semua lembaga keuangan baik Bank maupun non Bank yang mendapatkan fasilitas bailout yang terlalu mudah, tidak ada penjelasan secara lebih detail bagaimana cara mengevaluasi bank mana yang semestinya harus diberikan bailout.
Karena, kata Hendri, dalam hal ini ada permasalahan yang berbeda, ada lembaga keuangan yang mengalami krisis karena faktor-faktor eksternal, tapi juga ada Bank yang mengalami krisis karena ketidakhati-hatian dalam pengelolaannya.
“Dalam Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang JPSK inilah yang tidak dijelaskan secara lebih detail,†katanya. Hal lain yang masih menjadi ganjalan adalah juga tentang pertanggungjawaban, walaupun tujuan dari pemerintah untuk mempercepat langkah pengambilan kebijakan, namun ini harus berhati-hati karena pendanaan untuk bailout ini pastinya sangat besar. Oleh karena itu kita tidak boleh mengesampingkan keterlibatan DPR dalam arti keterlibatan dari publik.
“Hal inilah yang seharusnya menjadi catatan penting bagi pemerintah,†kata Hendri.
Hendri menambahkan, didalam mengambil kebijakan penanggung jawab tidak boleh hanya pejabat yang sangat sempit, karena dalam perencanaan yang mengambil kebijakan hanya Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. Hal-hal itulah yang dikritisi dalam Perpu yang diajukan pemerintah tersebut.
Berdasarkan hasil kajian lembaganya, ternyata pasar uang antar Bank sudah mulai memburuk. Dalam hal ini harus ada skema dari pemerintah yang lebih detail perlakuan terhadap Bank ataupun Lembaga Keuangan Non Bank dan juga klasifikasi bank yang bisa diberikan dukungan pembiayaan dan dengan cara seperti apa.
Semua itu harus diklasifikasikan sesuai dengan jenis lembaga keuangannya maupun masalah yang dihadapi. Karena, kata Hendri, kita tidak mau kemudian terjadi begitu mudahnya pemerintah memberikan Bailout, atau kita kurang hati-hati memberikan rambu-rambu sehingga kalau terjadi sesuatu tidak akan bisa kita koreksi kembali. (tt)